Pemerintah Membela Buruh atau Pengusaha?

Pada tanggal 3 Oktober 2012, kaum buruh Indonesia melancarkan aksi Mogok Nasional. Salah satu tuntutan mereka adalah penghapusan outsourcing. Sejak gerakan Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah (Hostum) digulirkan pada Mei 2012, kaum buruh memang sudah melakukan aksi-aksi pengepungan pabrik untuk menekan pengusaha mengubah status buruhnya yang outsourcing menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Pasca-Mogok Nasional, aksi-aksi grebek pabrik juga terus berlanjut di tingkat akar rumput. Aksi-aksi yang berkelanjutan ini membuat. persoalan outsourcing menjadi wacana yang diperdebatkan oleh publik secara luas. Pengusaha pun tampak panik dengan perlawanan kaum buruh ini dan meminta-minta kepada pemerintah untuk membela mereka.

Outsourcing memang merupakan momok bagi kaum buruh. Bersama-sama dengan sistem kerja kontrak, outsourcing adalah cara untuk membuat hubungan kerja buruh-pengusaha menjadi fleksibel. Fleksibel di sini bermakna hubungan kerja itu menjadi lebih mudah untuk dirubah atau ditiadakan tanpa konsekuensi yang berat bagi pengusaha. Pada era neoliberal, di mana persaingan menjadi semakin intensif akibat pasar bebas, sistem ini menguntungkan pengusaha. Pasalnya, pengusaha jadi bisa merubah atau meniadakan hubungan kerja dengan mudah, sesuai dengan kondisi bisnis yang berubah-ubah. Tapi apa yang menguntungkan pengusaha berdampak pada penghancuran kehidupan kaum buruh. Sistem kerja kontrak dan outsourcing telah mengakibatkan diskriminasi, menghancurkan kesejahteraan dan daya tawar buruh, serta berbagai problem sosial lainnya.

Sebagai contoh, riset Indrasari Tjandraningsih, Rina Herawati dan Suhadmadi yang melakukan survei terhadap 600 responden buruh di sektor metal di 3 Provinsi dan 7 kota, menemukan adanya diskriminasi antara buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing. Rata-rata upah pokok buruh kontrak, misalnya, lebih rendah 14% dari upah pokok buruh tetap, sementara upah pokok buruh outsourcing lebih rendah 17,45% dari upah pokok buruh tetap. Lalu, terkait upah total, rata-rata upah total buruh kontrak 16,71% lebih rendah dari upah total buruh tetap, sementara upah total buruh otusourcing 26% lebih rendah dari upah total buruh tetap. Diskriminasi ini menguntungkan pengusaha, karena mereka jadi bisa menekan ongkos produksi dibandingkan jika keseluruhan buruh yang harus mereka pekerjakan adalah buruh tetap.

Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM), diskriminasi ini tentu bertentangan dengan HAM. Secara spesifik, praktek diskriminasi ini bertentangan dengan pasal 38 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, di mana dinyatakan bahwa “Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.” Kemudian, diskriminasi ini juga bertentangan dengan pasal 7 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) yang disahkan dengan UU No. 11 Tahun 2005, di mana pekerja memiliki hak untuk mendapatkan ”remunerasi yang setara untuk pekerjaan yang nilainya setara tanpa pembedaan apapun.”


Saat ini, karena kegigihan kaum buruh, persoalan outsourcing muncul ke permukaan. Sebagian kalangan buruh menuntut pembatasan outsourcing sesuai dengan penafsiran atas UUK yang menyatakan bahwa outsourcing hanya bisa diterapkan di lima jenis pekerjaan, yakni cleaning service, usaha penyediaan makanan (catering) bagi buruh, tenaga pengaman (satpam), usaha penyediaan angkutan buruh dan usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan. Outsourcing tidak bisa diterapkan di bidang kerja yang menjadi core-business perusahaan. Tetapi, sebagian kalangan buruh lainnya menuntut penghapusan outsourcing secara total, karena sistem outsourcing dan kerja kontrak itu secara prinsip sudah salah dan tidak bisa diterapkan pada siapapun tanpa kecuali. Buruh cleaning service, catering, satpam, buruh usaha angkutan pekerja dan buruh jasa penunjang di pertambangan serta perminyakan, juga memiliki hak yang sama dengan buruh-buruh di bagian core-business. Tentunya, agar perlawanan kaum buruh semakin kuat, perlu ada penyamaan sikap di antara kaum buruh sendiri.


Sementara itu, kita menyaksikan bahwa saat ini, pengusaha sudah panik dan menuntut pemerintah untuk membela mereka serta menindak tegas perlawanan kaum buruh. Mereka mengeluarkan wacana yang intimidatif mengenai investasi yang akan lari jika kaum buruh tidak berhenti melawan. Mereka juga mengancam akan melakukan penutupan pabrik atau lockout massal jika pemerintah tidak mau mengikuti keinginan mereka. Media massa yang dikuasai pemodal pun ikut-ikutan memojokkan kaum buruh sebagai “anarkis”, seakan-akan kaum buruh yang salah. Padahal, sudah sekian lama hak-hak kaum buruh dilanggar oleh sistem kerja kontrak dan outsourcing. Tentunya, sikap pemerintah dalam hal ini menjadi penting. Apakah pemerintah berani berpihak kepada kaum buruh dan bersikap tegas kepada pengusaha? Ataukah sebaliknya, pemerintah malah akan berpihak kepada pengusaha yang sudah sekian lama melanggar hak-hak buruh? Di momen ini, keberpihakan pemerintah sedang diuji.
Share on Google Plus

About Saifudien Djazuli

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

2 komentar:

  1. tulisan yang membakar semangat buruh untuk lebih memahami jati diri dan keberadaan mereka sebagai: BURUH...

    BalasHapus
  2. ya Mas Hakim Buruh adalah salah satu faktor pendorong perkembangan ekonomi bangsa. jadi jangan sampai buruh dikesampingkan dan di cerai beraikan! Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!

    BalasHapus