Aksi “Walkout” Partai Demokrat vs Penguasa dan Otoritasnya

“Restorasi” UU Pemilihan Kepala Daerah memicu ketegangan “Revolusi” masyarakat dan Negara. Sandiwara politik malam itu dalam sidang paripurna DPR adalah salah satu pementasan “drama politik” penguasa dan otoritas saat ini. Bukan sekedar masalah subtansi Pilkada langsung oleh rakyat atau Pilkada langsung melalui DPRD, tapi masalah “kedaulatan rakyat”, dimana rakyat dijadikan alasan, “bulan-bulanan”, bahkan korban kaum elit yang notabene “wakil rakyat” itu sendiri.


Setelah melakukan pembagian peran “lakon” dalam pementasan sidang paripurna, maka pertujukanpun dimulai dengan disaksikan mungkin hampir 150 juta rakyat Indonesia. Dua opsi awal voting pilih “Pilkada langsung” dan “Pilkada Tidak langsung” merasuk ke dalam paparan pimpinan sidang. Fraksi PDI-P telah menyatakan setuju dengan beberapa pendapat usulan yang diajukan oleh Fraksi Demokrat “10 Perbaikan” itulah tujuan Fraksi Demokrat atas RUU Pilkada kali ini. Akan tetapi “konflik” terjadi ketika Ketua Fraksi Demokrat menyatakan bahwa Fraksi PDI-P belum sepenuhnya menerima “isu politik” yang diusung Demokrat. Singkat cerita, isu politik Fraksi Demokrat tidak benar-benar dan sepenuhnya didukung dan disepakati oleh Fraksi PDI-P. Di sisi lain, pemimpin sidang berasal dari Fraksi Golkar tidak mengakomodir atau menambah satu opsi, yaitu “Pilkada tetap dilaksanakan secara langsung oleh Rakyat dengan 10 perbaikan. Walkout lah Fraksi Demokrat, dan menyisakan anggota fraksi yang masih menggunakan “hak konstitusional” mereka.

Hasil “tindakan social” inilah yang memicu “konflik social” antara masyarakat dan Negara. Terlepas tindakan walkout itu disadari, direncanakan, dirancang, disengaja, diputuskan, diinstruksikan, atau tidak. Lalu apa fungsinya?, walkout yang diperbuat oleh Fraksi Demokrat. Anehnya,  tindakan walkout mendapat sambutan dari penguasa sekaligus otoritas tertinggi partai Demokrat yang berbeda. Penguasa menyatakan kecewa, Otoritas merasa ini tidak benar, Penguasa dan Otoritas itupun bersumpah, tapi tetap dengan “10 perbaikan” untuk melaksanakan Pilkada Langsung oleh rakyat. Lalu sebenarnya, “apa yang seharusnya? & apa yang semestinya” Fraksi Demokrat dalam pesta wakil rakyat malam itu?

Sudah benarkah aksi walkout Fraksi Demokrat? “politik balas budi” atau “politik balas dendam”. Politik Indonesia mencatat bahwa Hasil konggres PDIP tahun 2000 tidak mendukung ide Pemilihan Langsung Presiden, meskipun sebagian besar anggota partai tetap mendukung gagasan tersebut. Akhirnya, era pemilu dan pilkada langsung dimulai, penguasa Demokrat lah yang meuncul sebagai pemenang. Pemilu dan pilkada langsung dapat memicu konfilk horizontal dan vertical, serta tidak sesuai dengan sila ke 4 Pancasila, itulah alasan PDIP waktu itu dan saat ini digunakan oleh Koalisi Merah Putih, selain alasan PAN yang menilai Pilkada Langsung berimbas kepada eksploitasi sumber daya alam yang berpindah tangan dan kurang terkontrol. Tapi gagasan “Pilkada Langsung” mulai memudar tahun 2012, hasil evaluasi pemerintah dan hasil muktamar NU Cirebon. Muncullah gagasan baru dalam naskah akademik RUU Pilkada usulan Pemerintah, dimana “Gubernur dipilih melalui DPRD, Bupati/Walikota dipilih langsung oleh Rakyat dan Wakil Gubernur, Wakil Bupati/Walikota dipilih dari pejebat karir” dengan menekankan pada uji public calon pemimpin oleh DPRD dan Pemerintah. Gagasan terkahir ini mulai menghilang, dihilangkan atau dibuyarkan atau memang dimanfaatkan oleh kekalahan peserta pemilu.

Pilkada langsung mulai berlangsung di era penguasa Partai Demokrat, sudah semestinya Partai Demokrat mengevaluasi, mencermati, memahami system politik yang dibangunnya. Kemudian mengambil tindakan apabila terjadi “konflik kepentingan” atau “kontrak social” anyar dalam system politik. Walkout dan “mengadu” ke Mahkamah Konstitusilah solusinya. Tetap UU Pilkada harus memasukkan “10 Perubahan” yang “dinilai ideal” untuk pelaksanaan Pilkada Langsung di Indonesia. Kenapa mereka tidak menyelesaikannya dalam forum pembahasan RUU, atau Sidang Paripurna? Apakah dengan kekuasaan dan otoritas Partai Demokrat, Kemenkumham dan Kemendagri tidak mampu memasukkan “10 perubahan” itu?

Spekulasi atas interaksi, konflik, persaingan dan “sandiwara” politik ini mengakibatkan demonstrasi “tranding topic” dimulai. Siapa subyeknya? Siapa lagi kalau bukan “penguasa dan otoritas” Partai Demokrat. Sempat-sempatnya pergi ke Washington DC dan berkomentar atas “tragedy” yang dibuat oleh Fraksinya di sana, kenapa tidak duduk manis di Istana Indonesia. Apakah gejala social politik ini sebuah kegiatan “soziale gebile”, ditunjukkan kepada Fraksi Partai Demokrat atau lawan politiknya atau rakyat kebanyakan? Bahwa sampai saat ini, saya adalah Penguasa dan Otoritas sekarang, saya masih ada. Inilah Politik era Transisi dimana partisipasi politik masyarakat menjadi sorotan utama dan tugas media mengemasnya.


Share on Google Plus

About Saifudien Djazuli

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar