Melihat hasil pengumpulan data
cepat atau penghitungan cepat (Quick Count) beberapa lembaga survey, perolehan
suara pemilu legislative tertinggi diperoleh oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). Hal ini tentu tidak mengagetkan, karena sebelumnya beberapa
lembaga survey sudah merilis bahwa Pileg 2014 kali ini akan dimenangkan oleh
PDIP bahkan sampai pada perolehan suara 24-28%, justru perolehan suara PDIP
saat ini mengalami penurunan dari prediksi tersebut. Salah satu penyebabnya
adalah dinamika calon legislative di masing-masing daerah berbeda.
Dengan hasil penghitungan
sementara versi Quick Count ini, kemudian memunculkan kesimpulan bahwa seluruh
partai peserta pemilu tidak dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden
sendiri, baik secara popular vote maupun parliamentary vote. Yang
masih memungkinkan untuk mengusung capres dan cawapresnya sendiri adalah PDIP
dengan catatan mendapatkan 20% lebih dari total kursi DPR RI yang diperebutkan.
Dengan demikian, maka wacana koalisi kemudian menguak ke public. Berbicara
koalisi, tentu erat hubungannya dengan istilah pragmatism, bagi-bagi kursi, dan
penawaran program dan jabatan, kalau dikupas disini akan memerlukan pembahasan
lebih detail mengenai hal tersebut. Dalam tulisan kali ini kita akan membahas
masalah trend koalisi yang memungkinkan terjadi antara partai-partai politik
peserta pemilihan umum 2014.
Fungsi koalisi partai dalam system
multipartai seperti Indonesia, adalah untuk memperkuat posisi di parlemen dalam
merumuskan kebijakan, baik dalam pembuatan peraturan maupun dalam hal
pengawasan kebijakan pemerintah atau eksekutif. Bukan sekedar koalisi untuk
mengusung capres atau cawapres tertentu dan membagikan kursi-kursi menteri/cabinet
dalam istilah politik “bagi-bagi kue kekuasaan”. Pada saat ini, peroleh suara
masing-masing partai cenderung lebih merata dan berimbang, tidak terlalu ada
gab atau jarak antar partai. Perolehan suara seperti ini dapat mendorong partai
untuk lebih bijak dalam menyikapi kerjasama antar partai dalam membangun
koalisinya.
Pada pemilu 1999, pernah
terbentuk koalisi “poros tengah” dimana seluruh partai islam bergabung
mendukung Presiden Abdurahman Wahid, yang akhirnya jatuh di tengah jalan.
Koalisi “poros tengah” pada waktu itu cenderung bersifat bagi-bagi kekuasaan
atau kursi, sehingga memunculkan polemic yang berujung pelengseran Presiden. Sedangkan
pada pemilu 2004, kekuatan antar partai lebih terfragmentasi karena ada
pemerataan perolehan suara. Partai Golkar mendapat 23%, PDIP 20%, PPP 10%,
Demokrat 10%, PAN 10%, PKB 9%, PKS 8%. Capres dan cawapres yang menang pada
waktu itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla yang diusung oleh
Demokrat (56 Kursi), PBB (11 Kursi), PKS (45 Kursi), PKPI (1 Kursi) total hanya
20,5% dari jumlah kursi di DPR RI.
Koalisi pada tahun 2004 yang
dimulai dari gabungan partai yang tidak signifikan prosentasenya di parlemen
membuat kebijakan pemerintahan kurang mulus alias kurang mendapat dukungan dari
parlemen. Sedangkan Pemilu 2009 yang dimenangkan mutlak oleh Partai Demokrat
dengan dominasi jumlah kursi di DPR RI sebanyak 148 kursi memuluskan SBY
menentukan cawapresnya sendiri, meskipun gabungan koalisi pada periode ini
sudah dirumuskan lebih baik akan tetapi tetap saja tidak optimal ketika masuk
di ranah parlemen dalam menentukan kebijakan-kebijakannya.
Hasil
Quick Count saat ini menunjukkan fenomena yang sama berulang, hampir sama
kondisi perolehan suara dengan pemilu 2004. Jangan sampai ranah koalisi premature
dan pragmatis terulang kembali, koalisi yang bersifat cair, sementara akan
menimbulkan polemic atau problematika lain. Koalisi partai tidak memberikan
solusi, koalisi tanpa subtansi, koalisi tanpa visi dan misi. Rakyat butuh
kejelasan harapan masa depan bangsa, Rakyat membutuhkan Presiden yang peduli
terhadap Bangsa dan Negara ini, Bukan demi kepentingan Negara lain. Kemudian,
Bagaimana prediksi koalisi pemilu 2014 kali ini?
0 komentar:
Posting Komentar