Partai politik seharusnya bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang
menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Karena nanti
partai politik ini dapat mencalonkan calon legislatifnya untuk duduk di lembaga
legislative (DPR, DPD, DPRD), dan dapat mecalonkan calon Presiden atau Wakil
Presiden yang akan memimpin lembaga eksekutif sebuah Negara. Dengan demikian
fungsi umum partai politik dapat menunjukkan dan mencerminkan arah kebijakan,
kemauan, keinginan sebuah bangsa dan Negara. Menurut Robert Michels dalam bukunya,
“Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of
Modern Democracy”, “... organisasi ...
merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan
kolektif”[1].
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat)
fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam
Budiardjo, meliputi sarana[2]:
(i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv)
pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp[3],
fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii)
sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana
elaborasi pilihan-pilihan kebijakan;
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya.
Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya
mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests” yang terdapat atau
kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu
diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan
kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan
kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan
mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan
penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang
menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk
mendapatkan ‘feedback’ berupa
dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai
juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang
menjadi struktur-antara atau ‘intermediate
structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan
dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Misalnya, dalam rangka keperluan memasyarakatkan kesadaran negara
berkonstitusi, partai dapat memainkan peran yang penting. Tentu, pentingnya peran
partai politik dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya partai politik
saja yang mempunyai tanggungjawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua
kalangan, dan bahkan para pemimpin politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan
publik, khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif mempunyai tanggungjawab yang
sama untuk itu. Yang hendak ditekankan disini adalah bahwa peranan partai
politik dalam rangka pendidikan politik dan sosialisasi politik itu sangat lah
besar.
Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik (political recruitment). Partai dibentuk
memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi
kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu.
Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang
dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya.
Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik
sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang
kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak bersifat politik (poticial appointment), tidak boleh
melibatkan peran partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian
jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan
pejabatnya melalui prosedur politik pula (political
appointment).
Untuk menghindarkan terjadinya percampuradukan, perlu dimengerti benar
perbedaan antara jabatan-jabatan yang bersifat politik itu dengan
jabatan-jabatan yang bersifat teknis-administratif dan profesional. Di
lingkungan kementerian, hanya ada 1 jabatan saja yang bersifat politik, yaitu
Menteri. Sedangkan para pembantu Menteri di lingkungan instansi yang
dipimpinnya adalah pegawai negeri sipil yang tunduk kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.
Jabatan dibedakan antara jabatan negara dan jabatan pegawai negeri.
Yang menduduki jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Seharusnya,
supaya sederhana, yang menduduki jabatan pegawai negeri disebut pejabat negeri.
Dalam jabatan negeri atau jabatan pegawai negeri, khususnya pegawai negeri
sipil, dikenal adanya dua jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan
fungsional.
Jenjang jabatan itu masing-masing telah ditentukan dengan sangat jelas
hirarkinya dalam rangka penjenjangan karir. Misalnya, jenjang jabatan
struktural tersusun dalam mulai dari eselon 5, 4, 3, 2, sampai ke eselon 1.
Untuk jabatan fungsional, jenjang jabatannya ditentukan berdasarkan sifat
pekerjaan di masing-masing unit kerja. Misalnya, untuk dosen di perguruan
tinggi yang paling tinggi adalah guru besar. Jenjang di bawahnya adalah guru
besar madya, lektor kepala, lektor kepala madya, lektor, lektor madya, lektor
muda, dan asisten ahli, asisten ahli madya, asisten. Di bidang-bidang lain,
baik jenjang maupun nomenklatur yang dipakai berbeda-beda tergantung bidang
pekerjaannya.
Untuk pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik
langsung ataupun tidak langsung, partai politik dapat berperan. Dalam hal ini
lah, fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitment) dianggap penting.
Sedangkan untuk pengisian jabatan negeri seperti tersebut di atas, partai sudah
seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri.
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam
masyarakat (conflict management).
Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values)
dan kepentingan-kepentingan (interests)
yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan
cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai
politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat
disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program,
dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan
sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation
of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu
melalui saluran kelembagaan politik partai. Karena itu, dalam kategori Yves
Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengeloa konflik dapat dikaitkan dengan fungsi
integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam
kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk
mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.
4 Pokok Fungsi Partai Politik
:
sebagai sarana komunikasi politik
sebagai sarana sosialisasi
politik
sebagai sarana rekrutmen politik
sebagai sarana
pengatur konflik
[1] Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam
Birokrasi, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1984, hal.23.
[2]Miriam Budiardjo, Pengantar
Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta ,
2000, hal. 163-164.
[3] [3]
Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain,
France, Italy, Germany, third edition, Oxford University Press, 1998.
About Saifudien Djazuli
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
0 komentar:
Posting Komentar