Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati
untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan
ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul
pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan
dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus
penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim
demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi
pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat
konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip
kedaulatan Rakyat Indonesia. Adapun wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
Menguji
undang-undang terhadap UUD 1945
Mengenai pengujian UU, diatur dalam
Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.[1]
Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi
kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya
mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar
konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan
undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di
atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak
dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review[2].
Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak
selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui
kewenangan judicial review,MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak
lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945
Sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim
lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara
tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga
dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti
sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi
yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul
kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal
ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai
ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
Memutus pembubaran partai politik
Kewenangan ini diberikan agar
pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak
demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang
dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak
berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK
jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan
dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilu
Perselisihan hasil Pemilu adalah
perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara
hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila
penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan
calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden
serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi
partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah
ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
Pendapat DPR mengenai dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80
sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan
sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh
rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden
dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana
yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan.
Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat
mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam
ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan
2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna
yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.[3]
Putusan
Final dan Mengikat
Putusan MK bersifat final dan
mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan
MK bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya
pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan
kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan MK
memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.Putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk
dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan
ketentuan yang diputus oleh MK harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK.
Dalam perkara pengujian UU misalnya,
yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun
dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang
dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan
hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU,
DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus
bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai
pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari
ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji
tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut
pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak
dengan konstitusi. Oleh karena itu, yang terikat dan harus melaksanakan Putusan
MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang
terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK.
[1] Pasal 50 tidak lagi memiliki
kekuatan hukum mengikat setelah dibatalkan MK.
[2] Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada
hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku
produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif
di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya.
Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a prioridisebut judicial
previewsebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan Konstitusi) di Prancis.Judicial review bekerja atas dasar
adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis.
[3] Lihat
Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.
0 komentar:
Posting Komentar